Hanya Resume; Ngobrol Asik Guys
Diskusi P3 'Perempuan, Pendidikan dan Pernikahan'
Mengingat berbagai tuntunan yang ada
baik dalam Al-Quran maupun Hadits tidak bisa serta merta menyalahkan mereka
yang memiliki pendapat; Ijazah dulu baru Ijabsah atau Ijabsah
dulu baru Ijazah. Menuntut ilmu mau pun menikah, keduanya adalah bentuk
ibadah yang memiliki nilai sama besarnya di mata Allah SWT. Ketika keduanya
memiliki orientasi akhirat, maka sah sah saja mengutamakan salah satunya yang
lebih kalian mampu lakukan lebih dulu.
Tahukah kalian? bahwa menuntut ilmu
dan menikah adalah kerja peradaban yang tidak bisa kita buang kepentingan salah
satunya.
“Loh, sebentar kok menuntut ilmu? Ini kan soal
pendidikan, sekolah tinggi gitu. Kan kalau berpendidikan tinggi seorang ibu
bisa lebih baik dalam mendidik anak-anaknya. Anak kita berhak kali lahir dari
Rahim ibu yang pintar dan berpendidikan”.
Teman-teman yang dirahmati Allah SWT.
sungguh bangga mendengar para perempuan bersemangat untuk mendapat pendidikan
yang tinggi, setelah begitu banyak peluh yang di korbankan Kartini maupun Bu
Dewi. Namun, sungguh ironi jika semangat mulia menerima pendidikan dan ilmu
hanya berbatas pada ‘agar bisa mendidik anak lebih baik’. Pada zaman Rasulullah
SAW. belum ada intansi pendidikan, shalihah. Apakah perempuan-perempuan pada
saat itu bodoh? tidak mampu mendidik anak-anak mereka menjadi manusia yang
menorehkan banyak sejarah peradaban?
Maka, ini bukan soal strata
pendidikan, ini soal pengetahuan yang diamalkan, sehingga menjadi ilmu. Zaman
sekarang tidak sedikit juga orang tua yang berpendidikan tinggi gagal mendidik
anaknya. Beberapa justru tidak memiliki waktu mewariskan ilmu yang mereka
miliki. Tidak sedikit anak-anak yang berakhir pada asuhan asisten rumah tangga
atau menjadi robot yang di produksi oleh intansi pendidikan komersial. Tidak
sedikit.
Hanya,
bukan berarti menikah tidak memiliki resiko tinggi saat pendidikan atau ilmu
yang kita miliki sedikit. Seorang perempuan tetap harus
memiliki semangat untuk menuntut ilmu dan mendapat pendidikan. Penulis ulangi; bahwa menuntut ilmu dan menikah adalah
kerja peradaban yang tidak bisa kita kesampingkan kepentingan salah satunya.
“Aku baca di beberapa situs lain juga kan, banyak
orang sebenarnya bukan menyepelekan pernikahan tetapi mereka tahu bahwa menikah
bukan sesuatu yang mudah. Butuh banyak persiapan yang matang; fisik, mental,
finansial, bahkan ilmu; tentang suami-istri, mendidik anak. Di samping itu
karena banyak tindak kekerasan, poligami, perselingkuhan, beberapa perempuan
mengatakan takut untuk menikah”.
Mengapa
justru bertentangan dengan ‘pendidikan yang tinggi’? Orang yang berpendidikan
tidak akan berpikir sedangkal ini tentang kehidupan pernikahan, apalagi dia
seorang muslim. Tujuan utama seorang
muslim menuntut ilmu----(jenjang apapun) adalah untuk lebih mengenal Islam; apa
saja yang ada di dalamnya, sampai bentuk-bentuk ibadahnya. Ketika memandang
pernikahan sebagai bentuk ibadah tidak akan ada kekhawatiran apa pun, baik dalam
hal persiapan (fisik, mental, ilmu, finansial dsb.), juga dalam menghadapi
dinamika rumah tangga itu sendiri.
Sudut
kematangan seseorang dalam kacamata manusia sangat beragam. Keberagaman yang
tidak akan cukup dipenuhi seluruhnya dengan batas usia manusia. Jika kalian
menuntut kesempurnaan, Islam ini sudah sempurna setiap sudutnya, tinggal
bagaimana kita melayakan diri atas kesempurnaan itu; sebagai makhluk ya, bukan
pencipta.
“Oh iya, soal pendidikan dan karir juga. Ada yang
berpikir dengan pendidikan tinggi, perempuan bisa mendapatkan karir yang bagus
dan mandiri secara finansial. Sehingga jika di kemudian hari terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan, misal suaminya meninggal dan anak-anaknya masih kecil.
Atau walllahu alam harus cerai karena beberapa masalah”.
Ujian dalam rumah tangga memang tidak bisa dihindari, termasuk dua yang disebut
di atas. Tetapi mengapa tujuan menuntut ilmu dan menikah menjadi sekecil itu? Hanya untuk bertahan hidup.
“Ya gak harus mapan sih, setidaknya punya penghasilan,
gak malas kerja”.
Rezeki
itu sudah diukur, begitu pun umur. Allah SWT sudah menakar bagian-bagiannya
dengan takaran yang tidak akan tertukar :)
“Bukan
cuma urusan finansial sih, tapi lain-lain juga. Tanggung jawab laki-laki lebih
berat. Untuk ibu, isteri, adik perempuan, anak perempuan. Itu yang selalu jadi
penghambat. Semapan apa pun laki-laki
dalam finansial kalau belum siap sama hal-hal itu bakal nunda juga pastinya.
Belum lagi kalau si laki-laki ngelamar perempuan yang lebih tinggi pendidikan
atau ilmunya. Pasti bakal ngerasa---aku
mah apa atuh lah”.
Untuk kalian para laki-laki, untuk apa kira-kira Allah SWT. mencipta Hawa? Bukannya karena Dia tahu beban peradaban ini memang besar dan tidak bisa diselesaikan jika hanya sendirian. Kata Pak Cah dalam buku ‘Di Jalan Dakwah Aku Menikah’; pernikahan berarti mempertemukan kepentingan-kepentingan dan bukan mempertentangkannya. Jadi, penulis rasa tidak perlu merasa menanggung beban lebih, karena laki-laki mau pun perempuan telah Allah SWT. beri porsi yang sama hak dan kewajibannya.
“Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan
Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”. (QS.
Al-Mulk: 1-3)
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan
(Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. Dan bumi itu Kamii
hamparkan maka sebaik-baiknya yang menghamparkan (ada;ah Kami). Dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran
Allah”. (QS. Adz-Dzaariyaat: 47-49)
Demikianlah
Allah SWT telah memperhitungkan segalanya dengan begitu cermat. Usah kamu
khawatir terhadap apa-apa yang telah Allah SWT jamin. Berhati-hatilah pada
pemikiran yang membuatmu justru jauh dari tuntutan hidup yang Allah SWT ridhoi.
Karena apa pun selain-Nya yang kamu takuti bisa menjadi Tuhan lain.
Mengerikan
memang jika membayangkan bahwa sebuah akad telah memindahkan penanggungan hidup
seorang perempuan dari ayahnya ke pundakmu. Hanya dalam hitungan detik
seseorang yang bukan siapa-siapa tiba-tiba menambah daftar masalah hidupmu. Bro, tidak ada satu pun manusia yang
akan selesai dengan urusannya sendiri. Umur manusia terlalu pendek untuk bisa
memenuhi ketidakpuasan yang dimilikinya. Mempertemukan
kepentingan-kepentingan berarti memadukan; menjadikan satu. Tidak banyak, hanya satu, dengan personil yang tidak lagi
satu. Bukankah harusnya menjadi ringan? Iya.
“Oh
iya, kalau semisal, ada yang tidak mau menikah cepat-cepat karena mau
memantaskan diri, itu bagaimana?”
Tentu
saja itu bagus. Mempersiapkan diri adalah keharusan, terlebih ketika persiapan
yang dilakukan didasari oleh ketaatan kepada Allah SWT. Kadang kala seseorang mengatakan ‘ingin
memantaskan diri terlebih dahulu’ hanya untuk membungkam kekhawatirannya
terhadap desakan orang-orang di sekitarnya; untuk mematahkan pertanyaan
fenomenal ‘kapan menikah?’ atau sebagainya, tanpa melalukan hal-hal yang cukup
berarti dalam persiapan menuju pernikahan yang dimaksudkan. Sekadar berucap hanya
untuk terlihat keren saja karena pada dasarnya memang belum ingin. Apakah
terlalu hina mengatakan ‘belum ingin menikah’ sehingga membalut diri dalam
kebohongan ‘memantaskan diri’?
Sekali lagi, memantaskan diri adalah keharusan. Karena kita tidak tahu kapan akan dijemput atau menjemput; kapan akan disambut atau menyambut; baik untuk pernikahan atau justru mungkin kematian :)
“Kalau
semisal dalam proses memantaskan diri itu ada seorang yang shalih datang.
Tetapi kita merasa belum pantas bersanding dengan si shaleh itu, akhirnya kita
mundur, dengan alasan kita tidak cukup sepadan bersanding dengannya yang sudah
shalih. Kita tidak boleh ya menolak lelaki shalih?”
Kalian
mengalami kegalauan ini? Selamat bagi yang sudah melewatinya. Untuk yang berakhir
pada sebuah penolakan semoga Allah SWT senantiasa mendatangkan seseorang yang
hatimu memiliki kecenderungan terhadapnya, terhadap yang berujung pada langkah
keberanian menerima dengan berusaha lebih lagi untuk meng-upgrade diri, barakallahu
lakuma.
Menentukan pilihan suami atau isteri adalah hak penuh masing-masing pihak, karena sebuah pernikahan harus dilakukan tanpa adanya paksaan. Pada titik ini sebagai pihak ketiga penulis hanya ingin menegaskan ‘biasakan untuk tidak menyelesaikan masalah dengan cara pikir dan pandang kita sebagai manusia. Akal kita ini terbatas. Libatkan Allah dan biarkan Dia menyelesaikan bagian-Nya”
Menentukan pilihan suami atau isteri adalah hak penuh masing-masing pihak, karena sebuah pernikahan harus dilakukan tanpa adanya paksaan. Pada titik ini sebagai pihak ketiga penulis hanya ingin menegaskan ‘biasakan untuk tidak menyelesaikan masalah dengan cara pikir dan pandang kita sebagai manusia. Akal kita ini terbatas. Libatkan Allah dan biarkan Dia menyelesaikan bagian-Nya”
Manusia cenderung menyelesaikan permasalahannya dengan cara yang dia inginkan, padahal belum tentu itu yang diingikan Allah SWT. Mengapa tidak mencoba untuk menyelesaikan masalah dengan cara-Nya? Bukannya untuk itu kita mempersiapkan diri; sekolah tinggi, ikut kajian sana sini, baca buku kanan sampai kiri hehe, agar pernikahan yang menanti di gerbang depan itu menjadi perpanjangan hasta-Nya dalam menyejahterakan bumi.
Intinya adalah tentang orientasi.
Bahwa keduanya akan menjadi kunci
surgawi.
Kala akal dan hati berpadu dalam visi
Illahi.
SEMANGAT
BERBENAH VISI!
*membenah agar ketika pertemuan itu tiba, kamu dalam performa terbaikmu
Wallahu’alam bishowab
Komentar
Posting Komentar