Resume Etika Jamaah
Nur Ahmad, Media Insani Press : 2005
Mobil penggerak dakwah yang
dibutuhkan oleh semua aktivis dakwah adalah sebuah kendaraan yang besar dan
tangguh. Kendaraan ini adalah jamaah, yang akan mengantarkan umat ini kepada
tujuan besar wihdatul ummah. Era
sekarang adalah era “menggigit akar pohon(Islam)”. Sebagaimana yang telah
diberitahukan oleh Nabi SAW kepada Hudzaifah ibnul Yamin :
“…lalu
apa yang baginda perintahkan kepadaku sekiranya aku menemui keadaan itu? Beliau
bersabda, ‘Hendaklah kalian komit dengan Jamaatul Muslimin dan Imam mereka’. Aku
bertanya, ‘jika mereka tidak memiliki jamaah dan imam?’ Beliau bersabda, ‘Tinggalkanlah
firqoh-firqoh (pemecah belah agama) itu semuanya, sekalipun kamu harus menggigit
akar pohon.” (HR. Bukhori)
Jawabannya
:
“Aku
wasiatkan kepada kalian (agar mengikuti) para sahabatku kemudian generasi
berikutnya….kalian harus berjamaah. Waspadalah terhadap perpecahan karena
sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, dan dia (setan) akan lebih
jauh dari dua orang. Barangsiapa menginginkan bau wangi surge maka hendaklah
komit dengan jamaah.” (HR. Tirmidzi)
Demikian kaum muslimin tidak boleh sendirian, mereka harus membentuk komunitas. Yaitu komunitas yang tidak ekstrim terhadap salah satu madzhab serta mencela ataupun meninggalkan madzhab lain. Di bawah bendera kepemimpinan itulah merka bekerja. Ketaatan mereka mendahului argument mereka, tsiqoh (percaya) mereka mendahului prasangka mereka. Ketulusan jamaah tersebut tercermin dari sikap inklusifitasnya yang terletak pada pemahaman mengenai Islam dan jamaah.
Kemanfaatan jamaah itu tidak hanya terhadap kader-kadernya saja tetapi mengakses keluar menjadi “ruhun jadiidun tasri fii jasadil ummah” / jiwa baru yang mengalir ke tubuh ummat. Sehingga menjadikan anggotanya menjadi jiwa baru ditengah kehidupan umat manusia.
Kelurusan jamaah juga dapat dirasakan dari para kader dakwah yang memiliki nilai-nilai kepemimpinan, bukannya melahirkan manusia-manusia yang ambisius kepemimpinan. Sebaik-baiknya kader yang dilahirkan adalah yang memiliki daya pengaruh kuat, bukan mudah terpengaruh. Juga bukan orang yang suka “ngaji” serta asyik dengan hobi “ngaji” tersebut hingga larut dalah “kenikmatan”nya, namun kader yang hidup di tengah ummat. Karena jamaah minal muslimin adalah bagian integral dari umat, bekerja dan bergerak bersama umat dan hasil perjuangannya untuk umat. Karena jamaah ini bukan jamaah kader tapi jamaah umat. Jamaah yang diterima dan menjadi milik umat. Namun segala kemuliaan itu akan luntur manakala mereka meninggalkan aspek besar/ mengenyampingkan yang disebut “etika jamaah”. Meninggalkan etika ini berarti meninggalkan islam.
Iman dan akhlak adalah dua pilar utama dalam menegakan etika jamaah. Iman yang sempurna dan akhlak yang mulia, kedua pilar ini merupakan dua sisi dalam satu mata uang. Orang yang kehilangan akhlaknya akan kehilangan imannya dan kesempurnaan akhlak akan menyempurnakan iman.
Masyarakat madani merupakan masyarakat etnis, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika/adab, masyarakat yang memiliki “tepo seliro” (menjunjung tinggi nilai keagamaan). Syariat islam tidaklah semata-mata hanya fiqhul ahkam, namun ada fiqhud da’wah yang todak boleh dilupakan. Sebab in dakwah adalah mengajak manusia dari kejahiliyahan menuju cahaya islam. Oleh karena itu, jamaah harus tetap dalam “pembinaan” terhadap etika bagi kadernya agar tercapai :
1. Kader/aktifis
yang memiliki nurani yang tetap terjaga. Al-Quran mengistilahkan ini dengan
furqon (pembeda)
2. Kader/aktifis
memiliki sensitivitas hati. Merasakan danmerespon dengan benar. Mana yang haq
dan bathil.
3. Kader/aktifis
memiliki benteng ma’nawiyah (moral) yang kokoh. Berperilaku dengan akhlak
islami.
Mencampakan etika dalam dakwah bagi sebuah jamaah ibarat memberi penyakit campak/cacar pada organ tubuh manusia. Hal itu memang menarik perhatian banyak orang namun siapa yang akan suka dan siapa yang akan mendekat? Manusia ramai membicarakannya bukan untuk memenuhi seruan tapi takut tertular olehnya, mengusir penyakitnya bahkan orangnya.
Norma Jamaah
Dakwah
Mengikuti
manhaj pertengahan. Manhaj pertengahan merupakan cerminan
umat islam yang mengedepankan sikap tawazun (keseimbangan) dan keadilan. Syaikh
Qardhawi berpendapat bahwa pertengahan merupakan pusat orbit yang merupakan
tempat kembali bagi pihak-pihak yang telah jauh menyimpang ke kiri dan ke kanan.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Hendaklah kalian berpegang pada sikap pertengahan.
Dengan sikap ini orang yang tertinggal harus menyusul dan orang-orang yang
berlebihan harus kembali mundur.”
Jamaah dakwah yang Syumul bukan Darwisy. Jamaah darwisy yaitu jamaah yang wawasan ibadahnya dibatasi dalam lingkup yang sempit. Menekankan aspek ritual saja seperto, shalat, puasa dan dzikir saja.
Meninggalkan ‘ashobiyah. Syaikh Qardhawi berpendapat bahwa fanatik adalah sikap gembira atas kesalahan-kesalahan kelompok lain, disamping mengecam kesalahan-kesalahan tersebut dan menabuh genderang atasnya. Tapi pada waktu yang sama ia menutup mata dari kesalahan-kesalahan jamaahnya. Ashabiyah hizbiyah (fanatisme partai) juga jelas membatalkan iman dan islam. Karena pada dasarnya seorang muslim ber-intima’ (komitmen) bukan pada golongan/partai atau apapun bentuknya itu tapi pada ummatnya.
Jamaah pembangun ukhuwah islamiyah. Ukhuwah bukanlah eratnya jabat tangan dan senyum manis disuasana meriah bukan pula untaian kata indah kala gundah. Ukhuwah menuntut interaksi seluruh unsur kemanusiaan : hati, akal dan jasad. Hasan al Banna berkata, “Ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekuat-kuat dan semulia-mulianya ikatan. Ukhuwah adalah saudaranya iman sedangkan perpecahan adalah saudaranya kekufuran. Kekuatan pertama adalah kekuatan persatuan. Tidak ada persatuan tanpa cinta kasih.”
Bukan jamaah takfir karena jamaah ini adalah jamaah perindu surga.
Tuntutan
dan Konsekuensi
a. Faham
b. Ikhlas
c.
Wala’ (Loyalitas)
Merupakan tuntutan dalam dimensi keutuhan manusia. Faham adalah tuntutan akal. Ikhlas adalah tuntutan hati. Dan wala’ adalah tuntutan amal. Bekerja dalam jamaah akan meminta keutuhan sebagai manusia tersebut untuk dipersembahakan pada Islam. Tidak ada yang tersisa.
Adapun konsekuensi
berjamaah;
a. Fina’
(melebur), melebur bersama dakwah dan dakwah pun melebur bersamanya. Tak ada
lagi aktivitasnya selain terbingkai dalam dakwah untuk dirinya dan orang lain.
Tidak lagi ragu, duduk-duduk, mencari keuntungan duniawi. Waktu, harta,
cita-cita bahkan jiwanya tercurah mengalir untuk jihad di jalan Allah.
Kegembiraan dan kegelisahannya menyatu dalam problematika dakwah. Keseriusan
dan santainya tak lepas dari jalan dakwah. Profesi dan potensi senantiasa mengiringi
jalan dakwah. Tadlhiyyah (pengorbanan), tercabutnya
seluruh potensi dan kekayaan ke dalam jamaah. Potensinya untuk mengembangkan
dakwah dengan segala keuntungannya, kekayaan materi dan jiwanya terimplementasi
ke dalam perjalanan pertumbuhan dakwah. Karena menjadi aktifis dakwah berarti
menjuall dirinya kepada Tuhannya dan kehidupannya sudah terjual habis diborong
oleh-Nya.
Antara Pemimpin dan Anggota
Mendengar
dan taat
Mendengar didahulukan sebelum taat.
Sebab orang yang tidak mendengar tidak diwajibkan untuk taat. Tidak dibenarkan
melakukan ketaatan berdasarkan issue, apalagi menyangkut strategi, sikap serta
citra jamaah. Setelah klarifikasi dan menemukan kejelasan serta penjelasan maka
barulah ketaatan dilaksanakan.
Tak akan muncul ketaatan sebelum adanya
tsiqah (kepercayaan). Tsiqah tidaklah lahir karena dituntut pemimpinya. Tapi
datang seiring dengan perasaan dan pandangan seorang anggota jamaah atas
kapasitas serta kearifan pemimpinnya.
Konsekuensi taat
dapat kita tinjau dari kisah nabi Ibrahim dan Ismail. Juga kisah nabi Nuh.
Dimana ketaatan dilakukan dengan cepat tanggap. Tanpa ragu. Penuh
keyakinan. Seperti kata Hasan al Banna, “ Taat adalah menunaikan perintah
dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat
maupun malas.” Namun perlu diperhatikan seorang kader dakwah bahwa dalam
menjalankan perintah harus dengan perhitungan yang matang, tepat dan teliti.
Syura
Syura
adalah syariat Islam tapi tidak bersifat mengikat (pimpinan). Sebab, tujuan
syura ialah untuk mendapatkan berbagai pandangan umat dan mencari kemaslahatan
yang mungkin hanya diketahui sebagian orang atau untuk memperoleh kerelaan jiwa
mereka.
Syura
adalah jalan yang disyariatkan Allah untuk membuat dan mengambil
keputusan-keputusan pada setiap tingkatan. Syura berarti diskusi, menggodok
berbagai pandangan dalam urusan public atau persoalan yang berkaitan dengan
kepentingan bangsa dan Negara. Karena itu Islam memposisikan musyawarah pada
tempat yang agung. Al Quran juga mengabadikan syura sebagai salah satu
surahnya. Al Quran memandang sikap komitmen dan hukum terhadap syura sebagai
salah satu kepribadian Islam dan termasuk sifat mukmin sejati. QS.
Asy-syuura:37-38. Al-Baqarah:233
Umar
bin Khatab berkata, “Tidak ada kebaikan dalam suatu urusan yang dilaksanakan
tanpa musyawarah.” Al Fachrurazy juga mendukung dengan pendapat bahwa syura hukumnya wajib, sebab ada
perintah. Dan perintah menunjukan makna wajib. Al-Bukhari mencatat, “Aku tidak
melihat orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya kecuali
Rasulullah SAW.”
Bekal Ikhtilaf
Berjamaah
berarti penyeragaman atas segala hal. Namun justru dalam jamaah itu akan
terdapat keberagaman warna yang tersusun dan terbingkai dalam keutuhan sebuah himpunan.
Pada perjalanannya akan banyak sekali haling rintang, maka dalam tantangannya
himpunan jamaah itu dibekali kesabaran, ketaatan serta meninggalkan kebiasaan
berbantah-bantahan. QS. Al-Anfaal:46
Ikhtilaf
ada dua. Pertama, perselihan kontadiktif yang
bermaksud pembangakangan. Kedua, perbedaan
cara pandang dan pikiran. Perlu dipahami bahwa perpecahan umat bukanlah suatu
keladziman. Perbedaan pandangan dalam jamaah tidak dibenarkan dengan
perpecahan, saling menyingkirkan, fitnah atau adu domba. QS. Ali-Imran:105,
Ar-Ruum:31-32. Dan ingatlah bahwa persatuan umat adalah kewajiban dalam Islam.
Sebab-sebab ikhtilaf
- Kagum dan bangga pada pendapat sendiri
- Buruk sangka
- Egoisme dan menuruti hawa nafsu
- Bersikukuh dalam hal ambisi kepemimpinan dan kedudukan
- Fanatisme
Kenampakan loyalitas
Konfirmatif terhadap pemimpin/struktur
- Pemahaman
terhadap intruksi. Tidak mesti seseorang yang menerima
intruksi kemudian dengan serta merta menjalankannya tanpa mempelajari maksud
dan tujuan. Ketahuilah dengan ilmu dan ilmu akan mengantarkan pada faham.
Pemahaman mendalam terhadap perintah akan melahirkan ketenangan dan penuuh
perhitungan. Ketidakpahaman akan menimbulkan indisipliner. Disiplin sendiri
lahir dari sebuah kefahaman dan dengan disiplin akan mendatangkan hasil yang
optimal.
- Sabar
dalam mengemban amanah. Bersabar bukan hanya etika dalam
berjamaah, tapi juga prinsip dalam dakwah.
- Vitalitas
dan dinamis. Perangi kedhaliman dengan mengurangi
tingkat kedhalimannya. Hal ini diperlukan agar seorang aktifis dakwah mampu
menghadapi rintangan tanpa harus menghindar.
- Memberikan
nasihat
Amal Jama’i
Amal
jama’I bukanlah konsep tanpa alasan atau latah. Bukan konsep mengada-adakan
sesuatu yang baru dalam agama. Bukan pula mengadopsi produk barat. Amal jama’I
merupaka sebuah kemestian sebuh jamaah. Ia adalah konsep seni mengelola manusia
sehingga menghasilkan karya sesuai tuntutan.
Amal jama’i tak lain merupakan fitrah kauniyah. Tidaklah cukup kashalihan, kezuhudan, akhlak baik
seseorang untuk membangun peradaban. Tumbuhnya peradaban bukan karena
keberadaan pribadi-pribadi yang memiliki sifat tersebut. tapi kepribadian mulia
yang terbingkai dalam system mesin yang bekerja dan berkhidmat. Yang menjadi
penentu adalah adanya harakah jamaiyah dan keshalihan yang massif. Sehingga
menjadi arus yang kuat untuk menghalau kejahiliyahan. Harakah jamaah itu harus
melebur ditengah umat. Yakhtalitun walakin yatamayyazun, berbaur namun tetap
spesifi, tetap terjaga kepribadian Islamnya. Muta-akhorghairuh muta-akhirin,
mempengaruhi bukan dipengaruhi. Juga kebutuhan
manusia dan perintah syariat.
Kaidah Ushul
Fiqh
- Maa laa yatimmul waajin illa bihi, fahuwa waajib. Jika tak terlaksana perkara yang wajib itu sehinggga ada perkara lain yang membawa ia terlaksana, maka perkara lain itu juga menjadi wajib.
- Al hukmu bil wasiilah, hukmun bil maqaasid. Hukum bagi wasilah adalah hukum bagi maksud/tujuan.
- Al hariimu lahu hukmun maa huwa hariimun lahu. Suatu perkara yang menjadi penjaga terhadap suatu hal itu hukumnya adalah sama denga yang dijaga.
Bekerja untuk menegakkan islam adalah sebuah
kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Namun, islam tidak akan tegak jika
tidak ada upaya kaum muslimin untuk berjamaah. Sebab taka da islam tanpa
jamaah. Umar bin Khatab berkata, ‘Wahai masyarakat Arab,bumi adalah bumi. Tidak
ada islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan,
dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.’
Produk dakwah dalam amal jama’i:
- Lahirnya seorang muslim yang senantiasa memperbaiki diri sehingga menjadi muslim yang memenuhi 10 muwashofat.
- Terbentuknya keluarga muslim sebagai sebuah miniatur masyarakat Islam.
- Lahirnya kader-kader dai yang aktif dan masif.
- Pembebasan tanah air dari kekuasaan asing.
- Berperan dalam reformasi pemerintahan sehingga menjadi pemerintahan yang islami, adil dan khidmat dalam melayani untuk kemaslahatan rakyat.
- Usaha mempersiapkan aset negeri untuk kemaslahatan kaum muslimin dan seluruh warganya.
- Penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah islami ke seluruh negeri.
Hasan al Banna yang mencita-citakan akan kesatuan
gerakan dakwah tersebut dengan kalimat beliau dalam muktamar ke enam. Jika pada
muktamar kelima berorientasi ke dalam maka pada muktamar ke enam beliau
berorientasi ke luar. “Allah SWT telah menunjuki kita khitthah yang ideal,
disaat kita mencari kebenaran di dalam uslub yang lunak, yang menenangkan hati
dan menentramkan pikiran. Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa nanti akan datang suatu
hari dimana semua gelar-gelar formal, sebutan, perbedaan bentuk dan hambatan
pandangan akan hilang. Sehingga terciptalah kesatuan operasional yang seluruh
barisan tentara Muhammad terhimpun di dalamnya. Tidak ada lagi polarisasi dan
pengkotak-kotakan atas umat, semua menjadi Muslimin yang bersaudara.” QS.
Al-Maidah:56, Ar-Ruum:32, Ali-Imran:103
Demikian jelas ayat-ayat Allah berbicara tentang
kesatuan umat. Menganggap bahwa umat Islam—gerakan Islam—tidak akan bersatu
adalah anggapan yang sangat bathil. Bermakna melecehkan kekuatan dan kemuliaan
Al-Quran. Dan gerakan yang tidak punya kemauan untuk kea rah sana adalah
gerakan bathil, setidaknya gerakan yang belum mendapat hidayah Allah SWT.
Wa’yul Amni wa Siyasi (Kesadaran akan Keamanan dan Politik)
QS. An-Nisa’:71, 102. Jawaban Rasulullah SAW pada
seorang tua yang dijumpainya menjelang perang Badar, “Dari mana kalian?” Beliau
menjawab, “Dari Air.” Dalam kisah ashabul Ukhdud, Rahib Bani Israil berkata
pada pemuda shalih, “Jika engkau mendapatkan ujian(tertangkap), jangan engkau
tunjukan namaku.” (Dalilul Falihien 1:155)
Sikap jujur, husnudzan, kearifan dalam berjamaah
tidaklah cukup untuk menjaga kemaslahatan dakwahnya. Tanpa dibekali dengan
wa’yul amni wa siyasi, sebuah kejujuran dan berbaik sangka kadang justru
mendatangkan mudharat.
Pandangan universal mencakup tsaqafah asiyasah
(wawasan politik), nilai-nilai, orientasi politik akan mendidik para anggota
jamaah untuk mengerti situasi dan kondisi serta problematika umat untuk
kemudian mampu memberikan solusi, mengambil keputusan ataupun menentukan sikap.
Cita-cita dakwah bukanlah sejauh umur para
pelakunya, namun dakwah merupakan kerja sinergis berkesinambungan antar
generasi ke generasi berikutnya. Tidak boleh ada keterputusan gerak langkahnya.
Karena dakwah bukan hanya penyelamatan para penyerunya saja, namun yang paling
penting adalah menyelamatkan risalah dakwah agar tetap eksis berkesinambungan.
Jika dakwah ini mati, maka risalah Islam pun akan terhenti dan bencana pun
tidak akan terhindarkan lagi.
Saatnya Berpolitik
Jika dakwah tak mampu masuk kancah hukum dan politik
maka akan mandul di bawah hukum serta menjadi bahan permainan politik. Jika
politik sudah menjadi panglima, maka rusaklah agama. QS. Ali-Imran:110,
Al-Maidah:51
Dengan meyakini syumuliyatul islam, nbahwa ajaran
islam adalah lengkap, integral dan keprehensif, maka sebagaimana yang
dinyatakan oleh Syaikh Yusuf Qardhawi bahwa, “Islam yang benar seperti yang
disyariatkan Allah, tidak akan menjadi seperti
itu kecuali dia berwawasan politik. Jika engkau melepaskan Islam dari
urusan politik, berarti engkau menjadikan agama lain bisa agama Budha, Nashrani
atau lainnya.”
Siyasah dalam
Dakwah, merupakan bagian dari tahapan aplikasi dakwah ketika
menyelesaikan masalah umat yang bersifat global, strategis dan sinergis.
Dakwah dalam
Siyasah. Berarti komitmen moral dan etika dalam politik
sehingga menempatkan dakwah tetap
sebagai panglimanya.
Dengan masuknya dakwah ke orbit siyasah akan
terpampang lahan dakwah yang sangat luas dan semakin berat dan menuntut
perencanaan dan pengelolaan yang tidak mudah. Menggunakan paradigm skala
pioritas akan jelas arah sasaran dakwah yaitu lembaga dan rakyat/masyarakat
pada pioritas utama.
(Berpartisipasi)
Pilihan terhadap musyarakah bukanlah sebuah target
kemenangan, tapi sebagai perantara bagi kemaslahatan dakwah islamiyah yang
lebih luas.
Peran dakwah
Melindungi
- Menyampaikan
- Menyadarkan
- Mengarahkan
- Membimbing
Komentar
Posting Komentar